Budaya & Tradisi Gorontalo
Seorang gadis berkulit sawo matang, dia bernama dina. Dia
tinggal sebuah daerah yaitu Marisa. Dia tinggal bersama ibunya dan ayahnya
mereka hidup bahagia walaupun ekonominya pas-pasan. Dina adalah anak yang lemah
lembut kepada siapa yang ia temui, tapi, sejak ibunya meninggal dina berubah ia
lebih sering murung dan tak mau bergaul dengan temen-temannya dan ia tak mau
menceritakan segala sesuatu yang ia rasakan kepada ayahnya sekalipun,hari-hari
ia lalui hanya duduk termenung tetapi dalam hati kecil ia ingin menjadi orang
yang berguna bagi masyarakat .Dengan keadaan seperti ini bibi dina prihatin dan
ingin mengajak untuk tinggal di rumahnya dengan imbalan untuk di lanjutkan
sekolahnya yang mulai terganggu ,dengan rasa tersanggup dan himpitan ekonomi
terpaksa ayah dina memberi ijin dina untuk tinggal bersama bibinya dengan
harapan agar anaknya bisa mengangkat derajat keluarga,dina pun memilih tinggal
bersama bibinya, sejak itulah, hubungan Dina dengan ayahnya mulai berkurang. Dina
tidak diperbolehkan bibinya berhubungan
lagi dengan ayahnya dengan alasan yang tak jelas.
Suatu ketika, ayah nya mengirim surat kepada Dina karena ayahnya kangen sama dina, tapi sayangnya surat tersebut sering kali tak di sampaikan oleh bibinya kepada dina tetapi bibinya sering mengarang cerita bahwa dina baik-baik saja tetapi perkataan tersebut sangat bertolak belakang dengan kenyataan yang ada,dina di jadikan sebagai pembantu di rumahnya dari bangun jam 04.00 ia bekerja membersihkan rumah hingga jam 07.30 selanjutnya ia berangkat ke sekolah sebelum berangkat ke sekolah ia belum begitu saja berangkat kaya teman-teman tapi masih di marahi oleh bibinya dan di berikan uang jajan hanya serubu rupiah setiba dari sekolah ia tidak langsung makan begitu saja tetapi harus lagi membersihkan rumah setelah itu baru bisa mendapatkan makanan,setiba sore ia mengerjakan segala sesuatu harus mengerjakan dari menyapu,masak,nyepel,cuci pakaian dan seluruh pekerjaan rumah apabila ada kesalahan sedikit dalam mengerjakan sesuatu dina tak segan-segan di pukuli hingga berdarah,di lempari dengan wajan,piring dan masih banyak lagi yang dilakukan bibinya kepadanya ini adalah kegiatan yang dina sehari-hari di rumah bibinya.seringkali dina iri pada teman-temannya di waktu pagi mereka sudah siap berangkat ke sekolah,di waktu sore bermain dengan teman-teman sedangkan ia masih harus mengerjakan pekerjaan rumah yang tak ada habis-habisnya.waktu demi waktu penderitaan terus di jalani tak sedikit pun tanda-tanda dina untuk menyerah pada keadaan sehingga ia bisa menyelesaikan pendidikannya hingga jenjang Sakolah Menengah atas (SMP) walaupun tanpa bantuan kedua orang tuanya ia hanya bermodalkan kesabaran dan semangat yang tinggi dalam menjalani kerasnya kehidupan yang di jalani tanpa ada orang yang selalu menyayanginya tetepi dalam pikiranya bagimana pun caranya ia harus bisa bersekolah berpendidikan tinggi dan menjadi orang yang pintar dapat di banggakan keluarga terutama oleh ayahnya.
Suatu ketika, ayah nya mengirim surat kepada Dina karena ayahnya kangen sama dina, tapi sayangnya surat tersebut sering kali tak di sampaikan oleh bibinya kepada dina tetapi bibinya sering mengarang cerita bahwa dina baik-baik saja tetapi perkataan tersebut sangat bertolak belakang dengan kenyataan yang ada,dina di jadikan sebagai pembantu di rumahnya dari bangun jam 04.00 ia bekerja membersihkan rumah hingga jam 07.30 selanjutnya ia berangkat ke sekolah sebelum berangkat ke sekolah ia belum begitu saja berangkat kaya teman-teman tapi masih di marahi oleh bibinya dan di berikan uang jajan hanya serubu rupiah setiba dari sekolah ia tidak langsung makan begitu saja tetapi harus lagi membersihkan rumah setelah itu baru bisa mendapatkan makanan,setiba sore ia mengerjakan segala sesuatu harus mengerjakan dari menyapu,masak,nyepel,cuci pakaian dan seluruh pekerjaan rumah apabila ada kesalahan sedikit dalam mengerjakan sesuatu dina tak segan-segan di pukuli hingga berdarah,di lempari dengan wajan,piring dan masih banyak lagi yang dilakukan bibinya kepadanya ini adalah kegiatan yang dina sehari-hari di rumah bibinya.seringkali dina iri pada teman-temannya di waktu pagi mereka sudah siap berangkat ke sekolah,di waktu sore bermain dengan teman-teman sedangkan ia masih harus mengerjakan pekerjaan rumah yang tak ada habis-habisnya.waktu demi waktu penderitaan terus di jalani tak sedikit pun tanda-tanda dina untuk menyerah pada keadaan sehingga ia bisa menyelesaikan pendidikannya hingga jenjang Sakolah Menengah atas (SMP) walaupun tanpa bantuan kedua orang tuanya ia hanya bermodalkan kesabaran dan semangat yang tinggi dalam menjalani kerasnya kehidupan yang di jalani tanpa ada orang yang selalu menyayanginya tetepi dalam pikiranya bagimana pun caranya ia harus bisa bersekolah berpendidikan tinggi dan menjadi orang yang pintar dapat di banggakan keluarga terutama oleh ayahnya.
Sehingga tekatnya sudah bulat apapun
yang terjadi ia akan bertahan agar cita-citanya tercapai,tetapi inilah hidup
seperti roda kadang di atas dan kadang di bawa pencipta tidaklah membiarkan
umat-NYA terlalu tersiksa hingga berlarut-larut,mungkin ini adalah buah dari
kesabaran yang slama ini lakukan,berselang beberapa minggu dina lulus dari bangku SMP dan ingin
melanjutkan ke jenjang lebih tinggi,dina di tawarkan oleh pamannya saudara dari
bibinya untuk melanjutkan sekolahnya di Randangan tempat pamannya tinggal,pada
awalnya dina ragu dengan ajakan pamannya ini dina takut nasibnya akan sama
dengan ia berada di rumahnya bibinya tetapi sekali lagi dina berpikir bahwa
inilah hidup pasti banyak cobaan yang datang untuk menghadang sebab ayahnya
tidak mampu untuk menbiayai ia sekolah
Akhirnya kekhawatiran dina tidak
terjadi lagi pamannya sangat berbeda 90 derajat dengan bibinya pamannya
begitu baik,dina di berlakukan sebagai anak sendiri segala keperluan dina semua
di tanggung oleh pamannya.dan sampai hari ini dina terasa keluarga kecilnya
yang dulu hilang kini terlahir kembali dengan keadaan seperti ini dina terus
menuntut ilmu agar cita-citanya tercapai.
Perbedaan tersebut didasarkan kepada kondisi demografis, karakter masyarakat serta tingkat perkembangan kebutuhan hidup. Namun demikian setidaknya terdapat beberapa unsur-unsur serta wujud-wujud kebudayaan yang sifatnya universal dan pasti ada di setiap kelompok masyarakat manapun, Oleh karenanya pengkajian mengenai berbagai hal mengenai kebudayaan sangat menarik untuk dikaji.
Suku Gorontalo, Sulawesi
Dahulunya wilayah Gorontalo ini adalah bagian dari provinsi Sulawesi Utara dengan status kabupaten, tapi kini wilayah Gorontalo telah menjadi provinsi sendiri dengan nama provinsi Gorontalo.
Ditetapkannya kabupaten Gorontalo sebagai provinsi Gorontalo secara resmi pada tanggal 16 Februari 2001 oleh Menteri Dalam Negeri yang meresmikan Provinsi Gorontalo sekaligus melantik Tursandi Alwi sebagai Penjabat Gubernur. Setahun kemudian, Ir. Fadel Muhammad terpilih menjadi Gubernur Pertama Provinsi Gorontalo.
Istilah Gorontalo sendiri, kemungkinan berasal dari beberapa istilah, yaitu:
Orang Gorontalo sendiri kadang menyebut diri mereka sebagai Hulondalo. Istilah Hulondalo sendiri sudah terkenal di wilayah Gorontalo dan Sulawesi Utara, yang biasanya untuk menyebut daerah Gorontalo atau orang Gorontalo.
Asal usul suku Gorontalo, tidak diketahui secara pasti. Apabila dilihat dari struktur fisik orang Gorontalo, memiliki ras mongoloid, hanya saja mungkin sejak beberapa abad yang lalu telah terjadi percampuran ras dengan bangsa-bangsa lain. Sehingga suku Gorontalo saat ini memiliki postur fisik yang beragam. Warna kulit mulai dari kuning hingga ke coklat gelap. Rambut juga bervariasi, dari rambut lurus, ikal dan keriting. Menurut perkiraan suku Gorontalo dahulunya berasal dari daratan Indochina, kemungkinan dari daerah Burma atau Filipina. Dilihat dari bahasa, bahasa Gorontalo memiliki keterkaitan bahasa dengan bahasa-bahasa lain di pulau Sulawesi, seperti dengan bahasa Minahasa-Bugis-Makasar-Toraja, juga dengan bahasa-bahasa di Filipina.
Suku Gorontalo berbicara dalam bahasa Gorontalo. Selain bahasa Gorontalo, terdapat juga beberapa bahasa lain, yang sering dianggap sebagai dialek bahasa Gorontalo yaitu bahasa Suwawa dan bahasa Atinggola. Bahasa Gorontalo sendiri sekarang banyak mengalami asimilasi dengan bahasa Manado (Melayu Manado) yang juga banyak diucapkan oleh masyarakat Gorontalo.
Rumah tradisional adat suku Gorontalo dikenal sebagai Dulohupa. Rumah adat Dulohupa biasanya digunakan untuk mengadakan musyawarah oleh kerabat kerajaan di masa lalu.
Rumah Dulohupa terbuat dari papan pilihan serta beratap seperti jerami, dan dibuat dengan bentuk rumah panggung. Rumah adat Dulohupa masih bisa ditemukan di beberapa daerah kecamatan di provinsi Gorontalo.
Selain rumah adat Dulohupa, masih ada satu lagi jenis rumah adat suku Gorontalo ini, yaitu rumah adat Bandayo Poboide. Sayangnya rumah adat Bandayo Poboide ini telah punah di seluruh daerah Gorontalo. Satu-satunya yang masih tersisa adalah rumah adat Bandayo Poboide, berada di depan kantor Bupati Gorontalo di Jalan Jenderal Sudirman, Limboto.
Masyarakat suku Gorontalo mayoritas adalah pemeluk agama Islam yang taat. Agama Islam sangat kuat diyakini oleh masyarakat suku Gorontalo ini. Beberapa tradisi adat suku Gorontalo terlihat banyak mengandung unsur Islami. Hanya sebagian kecil saja yang memeluk agama lain di luar agama Islam.
Pada masyarakat suku Gorontalo, adat dipandang sebagai suatu kehormatan (adab), norma, bahkan pedoman dalam pelaksanaan pemerintahan. Hal ini dinisbatkan dalam suatu ungkapan " Adat Bersendi Sara" dan "Sara Bersendi Kitabullah".
Arti dari ungkapan ini adalah bahwa adat dilaksanakan berdasarkan sara (aturan), sedangkan aturan ini harus berdasarkan AI-Quran. Dengan demikian dapat dipahami bahwa sendi-sendi kehidupan masyarakat Gorontalo adalah sangat religius dan penuh tatanan nilai-nilai yang luhur.
Orang Gorontalo memiliki falsafah hidup, yaitu "batanga pomaya, nyawa podungalo, harata potom bulu", artinya "jasad untuk untuk membela tanah air, setia sampai akhir, harta untuk kemaslahatan masyarakat" dan "lo iya lo ta uwa, ta uwa loloiya, boodila polucia hi lawo", artinya "pemimpin itu penuh kewibawaan, tapi tidak sewenang-wenang".
Istilah
kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta, yaitu buddhaya yang merupakan
bentuk jamak dari buddhi yang berati budi atau akal, oleh karena itu kebudayaan
diartikan hal-hal yang berkaitan dengan akal. Kebudayaan juga sering diartikan
sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. masyarakat merupakan
organisasi manusia yang saling berhubungan satu sama lainnya sementara
kebudayaan adalah suatu sistem norma dan nilai yang terorganisasi yang menjadi
pegangan bagi masyarakat tersebut. Masyarakat dan kebudayaan tidak dapat
dipisahkan dan juga tidak dapat dibedakan, sebuah kebudayaan tidak akan
terbentuk jika tidak ada masyarakat yang menjadi penciptanya, sedangkan manusia
itu hidup berkelompok dan membentuk sebuah masyarakat sehingga masyarakat dan
kebudayaan sangat berkaitan erat.
Kebudayaan atau adat istiadat,agama,pakaian,dan norma –
norma di gorontalo .. tentang agama,masyarakat Gorontalo hampir dapat dikatakan
semuanya beragama Islam (99 %). Islam masuk ke daerah gorontalo sekitar abad
ke-16. Ada kemungkinan Islam masuk ke Gorontalo sekitar tahun 1400 Masehi (abad
XV), jauh sebelum wali songo di Pulau Jawa, yaitu ditandai dengan adanya makam
seorang wali yang bernama ‘Ju Panggola’ di Kelurahan Dembe I, Kota
Barat, tepatnya di wilayah perbatasan Kota Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo.
Pada waktu dulu di wilayah Gorontalo terdapat pemerintahan kerajaan yang
bernapaskan Islam. Raja Kerajaan Gorontalo yang memeluk agama Islam adalah Sultan Amai (1550—1585), yang
kemudiannya namanya diabadikan sebagai nama perguruan tinggi agama Islam di
Provinsi Gorontalo, STAIN Sultan Amai Gorontalo, yang kelak diharapkan menjadi
UIN (Universitas Islam Negeri) di Gorontalo.
Tentang seni dan budaya, Gorontalo sebagai salah satu suku
yang ada di Pulau Sulawesi memiliki aneka ragam kesenian daerah, baik tari,
lagu, alat musik tradisional, adat-istiadat, upacara keagamaan, rumah adat, dan
pakaian adat.. Tarian yang cukup terkenal di daerah ini antara lain, Tari
Bunga, Tari Polopalo, Tari Danadana, Zamrah, dan Tari Langga. Sedangkan
lagu-lagu daerah Gorontalo yang cukup dikenal oleh masyarakat Gorontalo adalah
Hulandalo Lipuu (Gorontalo Tempat Kelahiranku), Ambikoko, Mayiledungga (Telah
Tiba), Mokarawo (Membuat Kerawang), Tobulalo Lo Limuto (Di Danau Limboto), dan
Binde Biluhuta (Sup Jagung). Dan Alat musik tradisional yang dikenal di daerah
Gorontalo adalah Polopalo, Bambu, dan Gambus (berasal dari Arab)..
Dalam adat-istiadat Gorontalo, setiap warna memiliki makna
atau lambang tertentu. Karena itu, dalam upacara pernikahan masyarakat
Gorontalo hanya menggunakan empat warna utama, yaitu merah, hijau, kuning emas,
dan ungu. Warna merah dalam masyarakat adat Gorontalo bermakna ‘ keberanian dan
tanggung jawab; hijau bermakna ‘kesuburan, kesejahteraan, kedamaian, dan
kerukunan’; kuning emas bermakna ‘kemuliaan, kesetian, kebesaran, dan
kejujuran’; sedangkan warna ungu bermakna ‘keanggunanan dan kewibawaan’.
Pada umumnya masyarakat adat Gorontalo enggan mengenakan pakaian warna coklat
karena coklat melambangkan ‘tanah’. Karena itu, bila mereka ingin mengenakan
pakaian warna gelap, maka mereka akan memilih warna hitam yang bermakna
‘keteguhan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa’. Warna putih bermakna
‘kesucian atau kedukaan,Mayarakat Gorontalo lebih suka mengenakan warna putih
bila pergi ke tempat perkabungan atau kedukaan atau ke tempat ibadah (masjid). Biru muda sering dikenakan pada saat
peringatan 40 hari duka, sedangkan biru tua dikenakan pada peringatan 100 hari
duka. Dengan dasar pandangan terhadap warna tersebut, maka pada hiasan untuk
upacara pernikahan masyarakat Gorontalo hanya menggunakan empat warna utama di
atas (merah, hijau, kuning emas, dan ungu). Sebagaimana disebutkan di atas,
masyarakat Gorontalo memiliki pakaian khas tersendiri untuk berbagai upacara
adat baik perkawinan, pengkhitanan, pembeatan, dan penyambutan tamu. Pakaian
adat pengantin disebut Paluawala atau Bili’u, ini adalah sebagian budaya yang ada
di daerah gorontalo. Perbedaan tersebut didasarkan kepada kondisi demografis, karakter masyarakat serta tingkat perkembangan kebutuhan hidup. Namun demikian setidaknya terdapat beberapa unsur-unsur serta wujud-wujud kebudayaan yang sifatnya universal dan pasti ada di setiap kelompok masyarakat manapun, Oleh karenanya pengkajian mengenai berbagai hal mengenai kebudayaan sangat menarik untuk dikaji.
Suku Gorontalo, Sulawesi
Suku Gorontalo, merupakan suku asli di Sulawesi bagian utara, tepatnya di provinsi Gorontalo. Populasi suku Gorontalo diperkirakan telah mencapai lebih dari 1 juta orang.
Dahulunya wilayah Gorontalo ini adalah bagian dari provinsi Sulawesi Utara dengan status kabupaten, tapi kini wilayah Gorontalo telah menjadi provinsi sendiri dengan nama provinsi Gorontalo.
Ditetapkannya kabupaten Gorontalo sebagai provinsi Gorontalo secara resmi pada tanggal 16 Februari 2001 oleh Menteri Dalam Negeri yang meresmikan Provinsi Gorontalo sekaligus melantik Tursandi Alwi sebagai Penjabat Gubernur. Setahun kemudian, Ir. Fadel Muhammad terpilih menjadi Gubernur Pertama Provinsi Gorontalo.
Istilah Gorontalo sendiri, kemungkinan berasal dari beberapa istilah, yaitu:
- Hulontalangio, nama suku yang tinggal di daerah
- Hua Lolontalango, yang berarti gua yang digunakan untuk berjalan bolak-balik
- Hulutalangi, yang berarti mulia
- Huluo Lo Tola, yang berarti tempat di mana ikan snakehead berkembang biak
- Pongolatalo atau Pohulatalo, yang berarti: tempat menunggu
- Gunung Telu, yang berarti gunung tiga
- Hunto, yang berarti tempat yang selalu dialiri air
Orang Gorontalo sendiri kadang menyebut diri mereka sebagai Hulondalo. Istilah Hulondalo sendiri sudah terkenal di wilayah Gorontalo dan Sulawesi Utara, yang biasanya untuk menyebut daerah Gorontalo atau orang Gorontalo.
Asal usul suku Gorontalo, tidak diketahui secara pasti. Apabila dilihat dari struktur fisik orang Gorontalo, memiliki ras mongoloid, hanya saja mungkin sejak beberapa abad yang lalu telah terjadi percampuran ras dengan bangsa-bangsa lain. Sehingga suku Gorontalo saat ini memiliki postur fisik yang beragam. Warna kulit mulai dari kuning hingga ke coklat gelap. Rambut juga bervariasi, dari rambut lurus, ikal dan keriting. Menurut perkiraan suku Gorontalo dahulunya berasal dari daratan Indochina, kemungkinan dari daerah Burma atau Filipina. Dilihat dari bahasa, bahasa Gorontalo memiliki keterkaitan bahasa dengan bahasa-bahasa lain di pulau Sulawesi, seperti dengan bahasa Minahasa-Bugis-Makasar-Toraja, juga dengan bahasa-bahasa di Filipina.
Suku Gorontalo berbicara dalam bahasa Gorontalo. Selain bahasa Gorontalo, terdapat juga beberapa bahasa lain, yang sering dianggap sebagai dialek bahasa Gorontalo yaitu bahasa Suwawa dan bahasa Atinggola. Bahasa Gorontalo sendiri sekarang banyak mengalami asimilasi dengan bahasa Manado (Melayu Manado) yang juga banyak diucapkan oleh masyarakat Gorontalo.
Rumah tradisional adat suku Gorontalo dikenal sebagai Dulohupa. Rumah adat Dulohupa biasanya digunakan untuk mengadakan musyawarah oleh kerabat kerajaan di masa lalu.
Rumah Dulohupa terbuat dari papan pilihan serta beratap seperti jerami, dan dibuat dengan bentuk rumah panggung. Rumah adat Dulohupa masih bisa ditemukan di beberapa daerah kecamatan di provinsi Gorontalo.
Selain rumah adat Dulohupa, masih ada satu lagi jenis rumah adat suku Gorontalo ini, yaitu rumah adat Bandayo Poboide. Sayangnya rumah adat Bandayo Poboide ini telah punah di seluruh daerah Gorontalo. Satu-satunya yang masih tersisa adalah rumah adat Bandayo Poboide, berada di depan kantor Bupati Gorontalo di Jalan Jenderal Sudirman, Limboto.
Masyarakat suku Gorontalo mayoritas adalah pemeluk agama Islam yang taat. Agama Islam sangat kuat diyakini oleh masyarakat suku Gorontalo ini. Beberapa tradisi adat suku Gorontalo terlihat banyak mengandung unsur Islami. Hanya sebagian kecil saja yang memeluk agama lain di luar agama Islam.
Pada masyarakat suku Gorontalo, adat dipandang sebagai suatu kehormatan (adab), norma, bahkan pedoman dalam pelaksanaan pemerintahan. Hal ini dinisbatkan dalam suatu ungkapan " Adat Bersendi Sara" dan "Sara Bersendi Kitabullah".
Arti dari ungkapan ini adalah bahwa adat dilaksanakan berdasarkan sara (aturan), sedangkan aturan ini harus berdasarkan AI-Quran. Dengan demikian dapat dipahami bahwa sendi-sendi kehidupan masyarakat Gorontalo adalah sangat religius dan penuh tatanan nilai-nilai yang luhur.
Orang Gorontalo memiliki falsafah hidup, yaitu "batanga pomaya, nyawa podungalo, harata potom bulu", artinya "jasad untuk untuk membela tanah air, setia sampai akhir, harta untuk kemaslahatan masyarakat" dan "lo iya lo ta uwa, ta uwa loloiya, boodila polucia hi lawo", artinya "pemimpin itu penuh kewibawaan, tapi tidak sewenang-wenang".
Beberapa tradisi adat pada masyarakat suku Gorontalo adalah:
Salah satu kesenian budaya suku Gorontalo yang terkenal adalah Tari Polopalo. Tarian ini populer di kalangan masyarakat suku Gorontalo, bahkan sampai ke wilayah Sulawesi Utara.
- Adat perkawinan, dalam adat perkawinan, ada beberapa aturan dan tata
cara yang harus dilakukan oleh sang mempelai. Mereka masih memegang
tradisi turun temurun sebagai adat dan kebudayaan suku Gorontalo.
Acara diadakan di rumah kedua mempelai secara bergantian. Acara pernikahan bisa berlangsung lebih dari 2 hari. Kerabat bergotong royong dalam mempersiapkan acara pernikahan ini beberapa hari sebelum hari pernikahan. Kedua mempelai menggunakan pakaian adat "Bili’u". Tempat pelaminan yang digunakan pada saat resepsi menggunakan adat Gorontalo. - Tondhalo (upacara tujuh bulanan), adalah suatu acara adat untuk mewujudkan rasa syukur atas kehamilan yang berusia tujuh bulan.
Kedua orang tua harus memakai pakaian adat Gorontalo.
Seorang anak perempuan digendong oleh sang ayah mengelilingi rumah, lalu akhirnya masuk ke dalam kamar menemui ibu yang sedang mengandung.
Setelah calon ayah dan anak perempuan yang digendongnya bertemu dengan ibu yang mengandung sang bayi, maka tali yang terbuat dari daun kelapa yang melingkari perut ibu tersebut dipotong atau diputuskan.
Dalam acara Tondhalo ini, disediakan 7 jenis makanan yang dihidangkan pada 7 nampan yang berbeda, lalu makanan ini dibagikan kepada seluruh undangan.
Salah satu kesenian budaya suku Gorontalo yang terkenal adalah Tari Polopalo. Tarian ini populer di kalangan masyarakat suku Gorontalo, bahkan sampai ke wilayah Sulawesi Utara.
Masyarakat suku Gorontalo adalah masyarakat yang memiliki rasa sosial
yang tinggi, sehingga hampir tidak pernah terjadi konflik di antara
mereka sendiri. Sistem kekerabatan yang sangat erat tetap dipelihara
oleh masyarakat Gorontalo. Tradisi gotong royong tetap terpelihara dalam
kehidupan masyarakat ini, serta setiap ada masalah akan diselesaikan
dengan cara musyawarah.
sumber: pnpm-perdesaan.or.id: propinsi gorontalo
Pemetaan Isu-Isu Kontemporer
di Provinsi Gorontalo
Pengantar Diskusi: Menguak Masalalu Gorontalo
Suku Gorontalo merupakan penghuni asli bagian Utara Pulau Sulawesi, tepatnya di Provinsi Gorontalo, provinsi ke-32
Indonesia, yang pada tahun 2000 memekarkan diri dari Provinsi Sulawesi Utara.
Hari ini, jumlah peduduk Gorontalo diperkirakan lebih dari 1 juta orang atau
merupakan etnis mayoritas (90%) di tanah Gorontalo. Sementara, sejumlah etnis
lainnya yang merupakan minoritas adalah Suku Suwawa, Suku Bone, Suku Atingola,
dan Suku Mongondow. Beberapa anggapan berkembang mengenai etimologi kata
Gorontalo. Ada yang menyebut Gorontalo berasal dari kata "hulontalo", yang juga berasal dari kata "hulontalangi", yang berarti "pengembara yang turun dari langit". Angapan ini
berdasarkan pada mitologi yang berkembang di tengah masyarakat, yang
mengisahkan tentang Hulontalangi, yang dianggap sebagai orang pertama di
Gorontalo, yang berdiam di kaki gunung Tilongkabila.
Sejumlah teori lain menduga, Gorontalo berasal dari kata "Hua Lolontalango",
yang artinya "gua" yang digunakan untuk berjalan bolak-balik", "Pongolatalo"
atau "Pohulatalo", yang berarti "tempat menunggu", "gunung telu", yang berarti
"gunung tiga", dan masih banyak lagi asumsi-asumsi yang lain.[3]
J.G.F Reidel, seorang sarjana Antropologi dari Belanda, dikutip dalam
Tumenggung, dkk. (1983), berpendapat bahwa, etnis Gorontalo termasuk ras Melayu
Polinesia yang datang dari bagian Utara. Pada waktu mereka masuk ke daerah
Gorontalo, telah terdapat penduduk asli yang mendiaminya, dan terjadilah
percampuran di antara mereka. Selain itu, datang juga penduduk dari sebelah
Timur, yakni Bugis dan Makasar, dan terjadi pula percampuran di antara beragam etnis
tersebut. Sementara teori lain menyebutkan, etnis Gorontalo kemungkinan besar
berasal dari daratan Indochina, kemungkinan juga dari daerah Burma atau
Filipina. Masyarakat Gorontalo berbicara dalam bahasa Gorontalo. Selain bahasa
Gorontalo, terdapat juga beberapa bahasa lain, yang sering dianggap sebagai
dialek bahasa Gorontalo, yakni bahasa Suwawa dan bahasa Atinggola. Bahasa
Gorontalo sendiri sekarang banyak mengalami asimilasi dengan bahasa Manado
(Melayu Manado) yang juga banyak diadopsi dalam keseharian masyarakat Gorontalo.
Masyarakat Gorontalo mayoritas pemeluk agama Islam (98,81%). Agama Islam
sangat kuat diyakini oleh masyarakat suku Gorontalo. Beberapa tradisi adat suku
Gorontalo terlihat banyak mengandung unsur Islami. Hanya sebagian kecil saja
yang memeluk agama lain di luar Islam. Kendati telah lama memeluk Islam,
sisa-sisa corak keyakinan lokal masih bisa terasa dari kepercayaan sebagian
kalangan terhadap mahluk-mahluk halus dan ritus-ritus upacara yang berbau adat.
Dalam konsep masyarakat Gorontalo, adat dipandang sebagai suatu kehormatan,
norma, bahkan pedoman dalam pelaksanaan pemerintahan. Hal ini dinisbatkan dalam
suatu ungkapan "Adat Bersendi Sara" dan "Sara Bersendi
Kitabullah". Arti dari ungkapan ini adalah bahwa adat dilaksanakan berdasarkan
sara (aturan), sedangkan aturan ini harus berdasarkan Al-Quran. Dengan demikian
dapat dipahami bahwa sendi-sendi kehidupan masyarakat Gorontalo adalah sangat
religius dan penuh tatanan nilai-nilai yang luhur. Etnis Gorontalo adalah
masyarakat yang memiliki rasa sosial yang tinggi, sehingga jarang terjadi
konflik di antara mereka sendiri. Sistem kekerabatan yang sangat erat tetap
dipelihara, dan tradisi gotong royong tetap lestari dalam kehidupan masyarakat
ini, terutama di daerah pedesaan.
Kota Hulontalangi: Beberapa Isu Kontemporer
A. Pemulung
Jalanan dan Pengemis: Fenomena Baru Kota Gorontalo
Pemulung jalanan dan pengemis seringkali digunakan untuk menyimbolkan
masalah kemiskinan di Indonesia. Mereka dianggap sebagai kaum marginal yang
tidak dapat menyesuaikan dan melibatkan diri dalam proses pembangunan. Dalam
konteks pembangunan modern, banyak kota di Indonesia telah berkembang dengan
pesat termasuk Kota Gorontalo. Beberapa fasilitas infrastruktur, seperti
gedung, jalan yang diperlebar, jalan raya, dan taman telah dibangun dengan mantap dan indah. Akan
tetapi, hal tersebut tetap belum bisa mengatasi persoalan
persoalan yang dihadapi oleh orang orang yang hidup dijalanan. Mereka masih
berjuang melawan penderitaan, kelaparan, ketidakadilan, dan diskriminasi
(Twikromo, 1999:1)
Pemulung jalanan dan pengemis hanya dapat mengagumi hasil pembangunan dan
belum dapat tersentuh oleh program program pembangunan yang sedang dijalankan.
Hal ini cukup ironis dimana banyak sarana infrastruktur dibangun di banyak
kota, tetapi ketersediaan pelayanan dasar yang ada di sebagian besar kurang
memadai termasuk di Kota
Gorontalo. Versel (1986: 207-209) menyebutkan bahwa kota kota di Indonesia
mempunyai banyak kekurangan dalam penyediaan layanan dasar, pengelolaan pelayanan
kurang baik, dan sumber keuangan sebagian besar kota lemah.
Kondisi ini menghalangi pemulung jalanan dan pengemis di kota dari
sentuhan proses pembangunan. Lagi pula, pemerintah dan masyarakat kota pada
umumnya masih menghargai perilaku pemulung jalanan dan pengemis sebagai
kegiatan illegal yang seharusnya tidak dapat dibiarkan keberadaannya. Dalam
konteks ini, hubungan antara konstruksi budaya yang dianggap menjadi budaya
kota atau yang lazim disebut budaya kota yang dominan seperti yang direkomendasikan
oleh pemrintah melalui peraturan peraturan ataupun ideologi ideologi mereka dan budaya pemulung jalanan dan
pengemis bersifat asimetris atau yang lazim disebut tidak setara (Twikromo,
1999:2-3). Menurut Sullivan (1992:4), ideologi ideologi modern dari tradisi
telah menggantikan ideologi ideologi tradisional dalam bidang tertentu. Budaya
baru yang dikonstruksikan telah menggeser budaya tradisional dan bagian dari
kelompok kelompok sosial baru ini memberi kesan sebagi hasil pelindung budaya
tradisional.
Orde Baru sebagai kekuatan politik yang muncul sejak tahun 1966 telah
menerapkan model pembangunan yang menekankan pada percepatan pertumbuhan
ekonomi, dan pemerintah memainkan peran kunci atau peran yang paling menentukan
dalam setiap pembangunan di Indonesia. Banyak kegiatan pengembangan disesuaikan
atau dikemas dengan kerangka dan arah demi kepentingan ekonomi dan tujuan
tujuan tertentu pemerintah. Kondisi seperti ini memang sengaja dibentuk untuk
memudahkan control Negara
terhadap proses pembangunan (Twikromo, 1999:3). Sullivan (1992:11)
menggambarkan hubungan antara Negara dan masyarakat dalam konteks Indonesia
sebagai berikut "Negara menggunakan pegawai pegawai yang ditempatkan dalam
setiap organnya, berbagai macam perangkat ideologi dan sumber sumber daya
lainnya dalam suatu proses pemeliharaan dan kemajuan masyarakat. Tampak secara
jelas bahwa Negara menyediakan, mengendalikan, atau membentuk semua kesempatan
utama bagi penyelenggaraan dan penetapan kembali masyarakat, semua titik kritis
yang mana masyarakat membentuk dan melengkapi kembali dirinya. Sebagai hasil langsung,
anggota masyarakat merasa semua elemen ini; administrasi,
organ-organ, stafnya, berbagai macam bentuk yang disediakan Negara, dan titik
kritis tersebut sebagai bagian integral dari masyarakat, sebagai milik
komunal, dan tidak nampak lagi sifat sifat pemerintahan,
pengendaliannya, atau pewaris langsungnya" (dalam Twikromo, 1999:3).
Gambaran ini mengisyaratkan bahwa keanekaragaman budaya cenderung telah
dibingkai dalam kesatuan budaya yaitu "budaya modern". Dengan kata lain, budaya
budaya pinggiran ditempatkan di luar sistem apabila didasarkan pada perspektif
pembangunan modern. Kondisi semacam ini sengaja diciptakan karena
keanekaragaman budaya dianggap sebagai suatu penghalang bagi terciptanya
mekanisme control intensif bagi usaha untuk mempercepat laju pertumbuhan
ekonomi. Rebong Elena, dan Mangiang (1993:140) menyebutkan bahwa "gelandangan
(pemulung jalanan, pengemis, anak jalanan dan lainnya) adalah tenaga kerja yang
murah untuk pabrik", banyak
kota masih membutuhkan tenaga kerja murah dan tak terdidik untuk mendukung
proses pembangunannya. Akan tetapi, kehadiran tenaga kerja ini (umumnya datang dari daerah pedesaan) sering dilihat sebagai penyebab-penyebab
masalah sosial-budaya. Bahkan walaupun gelandangan itu
bekerja keras, melakukan kegiatan rutin, dan menghasilkan pendapatan (income)
untuk dapat bertahan hidup di daerah perkotaan, namun gaya hidup, nilai-nilai,
dan norma-norma mereka masih sering dipandang sebgai hal-hal yang menyimpang
dari gaya hidup, nilai-nilai, dan norma-norma yang diterima oleh sebagian besar
masyarakat kota (Galang 1985:6-7).
Jadi, walaupun mereka secara fisik berada di daerah perkotaan, kehadiran
mereka dimarginalkan oleh budaya masyarakat kota yang direkomendasikan oleh
pemerintah. Khayam (1984:158) menekankan bahwa budaya spesifik kota-kota di
Indonesia sekurang-kurangnya kota-kota di Jawa menganggap "kejelasan peran tempat dalam masyarakat"
sebagai nilai terpenting. Hal ini menyebabkan kelompok masyarakat, seperti
Gelandangan mengalami kesulitan untuk dapat di terima dalam konstruksi budaya
kota tersebut karena mereka dianggap sebagai orang yang tidak mempunyai
kejelasan tempat dan peran. Pernyataan Khayam mengisyaratkan bahwa permasalahan
yang terjadi antara gelandangan dan sebagian besar masyarakat kota adalah jarak
kebudayaan. Pernyataan ini hampir sama dengan pernyataan
Spradley (1970:6) dalam konteks Amerika, yaitu bahwa "jarak antara sebagian
besar masyarakat Amerika dengan gelandangan tidak dapat diukur dengan mil,
mereka dipisahkan dari kita oleh jarak kebudayaan".
Gaya hidup pemulung jalanan sering dianggap negative dan kehadiran mereka
dipandang sebagai suatu permasalahan sosial masyarakat kota. Pemerintah cenderung menyalahkan pemulung atau
orang jalanan apabila terjadi masalah kekumuhan lingkungan kota dan
kekurangindahan kota. Di samping itu, "kondisi hidup tak pasti" mereka dianggap
mengurangi kenyamanan hidup masyarakat kota. Penggambaran Murray tentang
"mitos marginalitas" dalam kasus orang luar dan penghuni kampong relative cocok
untuk memberi ilustrasi tentang stereotipe sebagian besar
masyarakat terhadap kelompok pemulung jalanan.
Stereotipe dan jarak budaya ini sering menyebabkan terjadinya konflik
antara pemulung jalanan dan sebagian besar masyarakat kota atau pemerintah.
Pemulung jalanan sering berseteru dengan institusi-institusi masyarakat yang
lebih luas (misal, polisi)
dalam melakukan aktivitas sehari-harinya. Versnel (1986:211) menekankan bahwa
"pemulung sering konflik dengan kebijakan penggunaan tanah, perencanaan kota,
dan filosofi pembangunan modern di Indonesia". fenomena
ini perlu dicatat apabila ingin memberikan ruang atau kesempatan hidup bagi
pemulung sebagai salah satu kelompok budaya pinggiran (tidak dominan) supaya
tidak tersingkir dari kerangka pengembangan manusia.
A. Marjinalisasi
Peran Perempuan Sejak Era Orde Baru Hingga Era
Reformasi
Peminggiran yang dilakukan terhadap kaum perempuan Gorontalo sebenarnya
terjadi juga di seluruh belahan Indonesia dan semakin memuncak pada era Orde
Baru. Peminggiran perempuan dari ranah publik semakin nyata dan terasa ketika
hampir sebagian besar program pemerintah berorientasi pada pembatasan hak-hak
perempuan. Misalnya, penggalakan program Keluarga Berencana merupakan
kecongkakan negara dalam mengatur seluruh kehidupan privat bangsa Indonesia.
Pembatasan jumlah anggota keluarga menjadi tidak rasional ketika Negara berdalih bahwa program tersebut diadakan
untuk membatasi laju pertumbuhan yang mungkin akan
mengganggu pertumbuhan ekonomi padahal pembengkakan jumlah penduduk hanyalah politik
pengalihan Negara yang tidak mampu mensejahterakan
rakyatnya (Tanipu, 2008)
Hal yang sama tampak dalam program PKK (Pendidikan Kesejahteraan
Keluarga) yang kemudian justru hanya menjadi program ibu-ibu yang dalam setiap
momen hari besar Negara
sibuk dengan berbagai ajang lomba (lomba taman bersih, lomba merangkai bunga,
lomba memasak dan sebagainya). Keadaan ini sengaja
diciptakan agar setiap ibu hanya bertanggung jawab sesuai kodratnya yakni
kebersihan, keindahan, dan kesejahteraan keluarga. Ini juga merupakan varian
dari politik pengalihan ala Orde Baru agar perempuan tidak lagi melihat dan
mempertanyakan setiap urusan Negara. Hal yang sejalan
dengan PKK adalah Dharma Wanita, "program menyibukkan diri" bagi kaum
perempuan. Penindasan ini menjalar ke seluruh kehidupan, tanpa belas kasihan.
Kiranya dalam hal ini teori dari Antonio Gramsci bahwa penindasan memang berlangsung
melalui kesadaran (hegemoni) dan struktur (dominasi) pun tepat untuk dijadikan
pisau analisis terhadap realitas penindasan terhadap perempuan di Indonesia
(Tanipu, 2008).
Usaha untuk setara kemudian diwujudkan dalam pembagian peran politik kaum
perempuan Gorontalo. Hal ini bisa terwujud ketika budaya patriarki mengakar dan
mendominasi dalam kehidupan masyarakat. Perempuan Gorontalo dilabeli sebagai
orang lemah, tidak bermanfaat, dan terbelenggu ketergantungan. Label ini telah
menjadi doktrin secara turun-temurun. Perempuan dipersepsikan dalam ungkapan
Simone de Beauvoir, sebagai orang kelas dua (second sex) yang seharusnya berada
di rumah dan dininabobokan
dengan konsumerisme dan hedonisme dalam cengkeraman kapitalisme. Perempuan
dianggap lemah dan tidak sepatutnya bergelut dengan dunia politik yang penuh
kekerasan dan kekasaran permainan kekuasaan. Perempuan dinilai tidak mampu memimpin
dan membuat kebijakan karena patron menilai perempuan secara tendensius dengan
menganggap perempuan sebagai pihak yang lebih mengutamakan perasaan sehingga
jauh dari sikap rasional. Persepsi negatif tersebut dilekatkan dan direproduksi
terus-menerus terhadap perempuan (Tanipu, 2008).
Budaya patriarki yang memitoskan perempuan secara negatif akhirnya diusahakan untuk dibongkar
pada era reformasi. Pemberdayaan
perempuan memang terbentur dinding dari interpretasi perempuan dalam tinjauan
politik, agama, dan sosial, padahal perempuan sejatinya
memiliki otonomi mutlak tentang dirinya. Perempuan adalah manusia yang
mempunyai kedudukan setara untuk membawa kepemimpinan di muka bumi. Perempuan
memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga Negara
dalam mengarur kesejahteraan manusia. Ada kesenjangan antara gagasan keadilan
sosial yang mendudukkan perempuan sebagai pihak yang setara dengan laki-laki
namun dalam kenyataannya sebagian besar perempuan masih
terkungkung dalam sempitnya kesempatan yang memadai bagi perempuan untuk
mengaktualisasikan perannya (Tanipu, 2008).
Sementara itu wacana keterlibatan perempuan dalam dunia politik dengan memberikan
kuota 30 persen masih
menjadi kontroversi. Banyak perempuan yang menolak penambahan kuota tersebut karena dianggap membatasi langkah perempuan, apalagi
secara statistik jumlah tersebut masih dinilai tidak adil. Sebagian perempuan
lainnya menyambut wacana tersebut sebagai langkah maju untuk memberi gerak bagi
perekrutan perempuan dalam bidang politik karena selama
ini jumlah perempuan yang berkiprah di ruang-ruang sidang di Senayan hanya
berjumlah 12 persen (Tanipi, 2008).
Jika dicermati sepintas, permintaan kuota 30 persen untuk perempuan di
parlemen itu memang bernuansa pembatasan peran. Namun dibanding realitas peran perempuan di parlemen yang
jumlahnya hanya 12 persen maka penambahan tersebut merupakan kemajuan pola
berpikir dan gerakan yang progresif. Teriakan untuk menggagas peran perempuan
dalam pembangunan memang tidak semudah membalik telapak tangan karena perlu
dilakukan secara bertahap dengan mengoreksi peran bersama yang telah diusung
oleh manusia dalam konteks persamaan derajat dan pemberian ruang bebas bagi
aktualisasi manusia.
Namun kuota 30 persen sebenarnya merupakan langkah maju yang bisa menaikkan
posisi tawar lebih realistis dari manipulasi patriarki. Jadi, gagasan menambah
kuota perempuan dari 12 persen (Pemilu 1997) menjadi 30 persen (Pemilu 2004), termasuk pada Pemilu 2014 kiranya
bukan hal yang salah karena pemberdayaan perempuan memerlukan ruang nyata untuk
menebarkan potensi yang berserakan di pinggiran kekuasaan. Ketika aturan bahwa
jumlah perempuan di parlemen akan ditambah menjadi 30 persen namun ditolak oleh
sebagian anggota DPR yang berdalih bahwa kebijakan itu merupakan pembatasan
peran perempuan dan jenis kelamin, maka penolakan tersebut merupakan ironi
karena di satu sisi ingin mengakui persamaan peran laki-laki dan perempuan,
namun di sisi lain praksisnya dianggap diskriminatif. Pertautan antara ide dan
realitas mestinya dijadikan pijakan dalam memperjuangkan ide kesetaraan
(equality) dalam segala bidang. Kesamaan akses dalam bidang politik menjadi
cita-cita yang menggantung di langit biru dan tak ber pijak ke bumi. Ketimpangan perempuan dan laki-laki sangat terasa dalam realitas
empirik lokal Gorontalo (Tanipu, 2008).
Dalam struktur keluarga sebagai unit terkecil, keputusan penting memang
masih didominasi oleh ayah sebagai simbol pemimpin rumah tangga. Budaya yang
mengakar dengan falsafah pembebasan (adati hulo-huloa to syara'awau syara'ahulo-huloato
Quruani) dan telah mengakar dalam masyarakat tidak dapat diwujudkan sebagai
proses kebudayaan yang responsif pada perempuan. Manusia terlahir dari rahim
perempuan, namun peran perempuan justru dikebiri untuk kepentingan patriaki.
Realitas itu sudah berakar lama dan dominan. Akibatnya, upaya melapangkan
kesetaraan dan persamaan hak pun terpental dan semakin menyingkirkan kaum
perempuan yang dilemahkan oleb sistem
(Tanipu, 2008).
Peran politik perempuan dalam dunia politik seakan-akan beraneka ragam.
Wilayah cakupan politik yang mampu dimainkan mereka pun masih sebatas wacana dalam diskusi dan
pelatihan. Dengan kualitas yang dimilikinya maka
sebenarnya perempuan bisa menembus apa pun dalam pergumulan politik. la mampu
menjadi pemimpin dari tingkat kepala desa hingga presiden
dan wilayah publik yang signifikan. Namun harapan itu jauh dari kenyataan
karena banyak perempuan yang justru ditolak oleh komunitasnya sendiri ketika
ingin lebih banyak berperan. Banyak perempuan yang tidak siap dan mendukung
ketika sesama perempuan bersaing di ranah politik. Ketiadaan dukungan dari
sebagian perempuan itu tentunya didasari oleh stigma di masyarakat yang menilai
bahwa perempuan cukup untuk menjadi makmum. Akibatnya, kesempatan tersebut
kandas dan kembali dimainkan oleh laki-laki. Pertarungan di wilayah politik
memang penuh intrik antara siapa mempengaruhi siapa.
Kesiapan perempuan Gorontalo untuk mengambil inisiatif dalam segala kebijakan
menyangkut hidup dan kebaikan masyarakatnya penting untuk segera
diartikulasikan. Penguatan sipil sebagai bangunan kokoh tatanan negara
selayaknya menjadi fokus perhatian aktivis perempuan untuk mendampingi kalangan
perempuan yang tertinggal. Mereka tidak mungkin maju sendirian, sementara
perempuan yang lain masih tertinggal pengetahuannya dan terbelenggu oleh mitos
yang membelenggu kiprahnya di bidang politik. Kemauan politik perempuan
sebenarnya sangat starategis untuk membalik kekuasaan yang selama ini
didominasi laki-laki. Jumlah perempuan yang mencapai 50 persen dalam pemilihan
umum akan melandasi gerakan perempuan dan menjadi diktum pembebasan
selanjutnya. Bias mitos yang merasuk dalam tubuh perempuan akan ikut hanyut
dengan realitas yang setara dan berkiprah sejajar di dunia politik. Cara
pandang rasional yang mengutamakan nilai keadilan akan mampu mendorong
keterlibatan perempuan secara lebih luas di wilayah publik. Bukan hanya
perempuan yang akan menikmati kemajuan ini, tetapi juga laki-laki yang bisa
menjadi lebih bijak dalam membagi tugas dalam bermitra kerja dengan perempuan
ketika membuat kebijakan untuk masyarakat. Untuk konteks Gorontalo, pemberian
kuota 30 persen masih belum terwujud secara proporsional. Dalam perolehan kursi
di DPRD Provinsi Gorontalo, perempuan hanya bisa mewakilkan 5 dari 35 anggota
DPRD (Tanipu, 2008).
B. Tergerusnya
Institusi Lokal
Gorontalo sebagai bangsa yang lahir dan berdiri berkat nasionalisme lokal
sebelum terbentuknya secara formal pada tahun 1942, merupakan linula-linula (suku-suku)
yang mempunyai coraknya masing-masing. Ketika Gorontalo ditegakkan, suku-suku
tersebut bermetamorfosa menjadi Gorontalo. Tampak jelas bahwa Gorontalo
merupakan federasi kultural, gabungan linula, kesatuan feodal dengan sikap kebudayaannya
masing-masing. Ternyata nasionalisme lokal yang dideklarasikan tanggal 23
Januari 1942 itulah yang mempersatukan berbagai aliran, marga, bahasa, ego
sektoral dan teritori menjadi satu bangsa yaitu Gorontalo. Maka sesungguhnya
nasionalis Gorontalo adalah nasionalisme yang berakar pada aliran, marga,
bahasa, ego sektoral dan teritori. Sifat multikultural itu sepantasnya tetap
terjaga, eksis bersama, tumbuh kembang bersama pula. Lenyapnya atau tertekannya
satu unsur budaya tertentu akan menyebabkan sakitnya kebudayaan dan peradaban (Tanipu, 2008).
Sekarang ini sering terdengar keluhan bahwa nasionalisme sedang tergerus
erosi. Tanpa melakukan penelitian yang serius pun kita menyaksikan bersama,
bahwa nafsu mementingkan diri dan golongan meraja lela, sehingga kepentingan
Gorontalo terabaikan. Gejala premanisme juga mengemuka di teritori tertentu. Pada
dasarnya masyarakat Gorontolo merupakan masyarakat post-kolonial yang merupakan
bekas jajahan masyarakat lain yang lebih kuat. Gorontolo pernah dijajah Gowa,
Ternate, Belanda, Jepang bahkan "Minahasa" dalam kurun waktu yang
sangat lama. Penjajahan membuat masyarakat Gorontolo lemah tiada daya. Perang
horizontal di masa lalu yang merupakan upaya perlawanan terhadap kekuatan
penjajah, membuat masyarakat lebih lelah lagi. Nasionalisme menjadi sangat
penting dalam sejarah tanah Gorontolo, karena paham itu ber mata dua. Satu sisi
nasionalisme merupakan ujung tombak melawan penjajah, satu mata lagi sebagai
sarana menjaga eksistensi bangsa itu sendiri (Tanipu, 2008).
Dalam kaitan itulah kita bisa melihat kaitan antara nasionalisme dan
kebudayaan. Nasionalisme merupakan paham yang membidani kelahiran tanah
Gorontolo, kebudayaan merupakan upaya melawan pemusnahan dan pelenyapan
masyarakat Gorontolo oleh kekuatan masyarakat lain, seperti yang dirumuskan
oleh Edward Said. Luka-luka dan cacat-cacat budaya tidak bisa dibiarkan begitu
saja. Sebab peradaban yang sakit hanya menunjukkan masyarakat yang sakit., dan
masyarakat yang sakit tidak akan mampu bersaing dalam gelanggang globalisasi
kapitalisme yang semakin agresif dan destruktif.
Memudarnya dunia langga, terlupakannnya lohidu, lenyapnya tarian dan
nyanyian anak-anak di pesisir danau Limboto, punahnya jenis kesenian lokal,
adalah gejala-gejala sakitnya budaya lokal di Gorontalo. Ketika pendekatan
kebudayaan tidak diterapkan dalam mengatasi masalah kemelut lokalitas, merupakan
ancaman tersendiri bagi masa depan keberadaan budaya lokal di Gorontalo.
Hampir satu dasawarsa sudah reformasi politik berlangsung, selama itu
pula kita menyaksikan suatu transformasi di dalam praktek dan instrumen
demokrasi, yakni bergulirnya praktek politik desentralisasi. Meskipun begitu,
risiko yang diakibatkan dari transformasi ini memiliki konsekuensi di dalam
masyarakat yang menuntut ruang partisipasi dan aspirasi politik yang lebih
luas. Budaya politik yang 'monolitik' masih melembaga dan secara kuat masih
mengakar, tidak lagi di dalam mobilisasi dan homogenisasi instrumentatif,
tetapi di dalam praktek memelihara habitus sosial dari masing-masing kelompok
sosial yang pada gilirannya dimobilisasikan untuk tujuan-tujuan politis. Hal
ini nampak nyata ketika praktek diskursif bukan menjadi medan untuk
mengkompetisikan wacana dan praktek yang mengutamakan aspek kesejahteraan
publik, melainkan sekedar menjadi suatu dramaturgi dimana wacana yang diusung
acapkali hanya sekedar 'panggung-sandiwara'. Sementara kita menyaksikan di
dalam praktek desentralisasi belum banyak institusi lokal yang mampu secara
optimal menyerap aspirasi masyarakat setempat. Upaya penguatan kapasitas
intitusi lokal seringkali terhambat oleh kecenderungan kepentingan elitis dan
kelompok untuk mempertahankan budaya monolitik, justru di tingkat lokal hal semacam
ini nampak nyata ketika berlangsungnya Pilkada, sebagai contoh (Tanipu, 2008).
Pertanyaan kritis dari deskripsi di atas adalah bagaimana sebaliknya
keberadaan institusi lokal dapat menjadi daya dukung bagi penguatan demokrasi
dan aspirasi politik di tingkat lokal dan bukan hanya sekedar mobilisasi
partisipasi politik untuk dukungan representasi parpol.
C. Kompleksitas Problem
Pedagang Kaki Lima
Kebanyakan kota besar di Indonesia dan negara berkembang pada umumnya senantiasa menuai kompleksitas problem ketika dihadapkan pada proses penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Salah satu problem yang mengemuka dalam beberapa dasawarsa terakhir adalah kemunculan sektor informal yang amat rumit pengendaliannya. Sektor informal, salah satu derivasinya adalah pedagang kaki lima (PKL) selalu menjadi isu strategis dan kontemporer, baik dalam konteks pemenuhan hajat hidup orang banyak di sektor ekonomi dan dunia usaha, maupun dalam kaitannya dengan persoalan sosial dan politik di kota. Nyaris setiap waktu, media massa cetak dan elektronik meliput dan menayangkan berbagai ragam benturan antara penanggungjawab perkembangan kota dengan entitas sektor informal yang beraneka ragam. Hal itu bisa terjadi karena hingga kini belum ada instrumen yang valid guna memprediksi tumbuh kembang sektor informal sehingga memungkinkan terakomodasi dalam perencanaan kota secara memadai (Alisjahbana, 2005).
Di
Kota Gorontalo stigma tentang keberadaan sektor informal semakin kental ketika
muncul wacana "keindahan kota". Jika dilihat dari segi estetika lingkungan,
maka keberadaan sektor informal menimbulkan kesan kumuh dan semrawut.
Kesemrawutan itu terjadi karena tenda maupun alat peraga yang digunakan
berjualan mayoritas ditinggal di tempat jualan, bahkan ada pula yang menjadikan
warung atau tendanya bersifat permanen yang berfungsi juga sebagai tempat
tinggal.
Permasalahan
sektor informal di kota yang sudah demikian rumit menjadi semakin rumit ketika
pihak ketiga, dalam hal ini preman ikut campur di dalamnya. Di berbagai sudut
kota keberadaan sektor informal tidak lepas dari "penguasa pasar" atau yang
diistilahkan dengan godfather. Sudah menjadi rahasia umum jika para preman ini
berfungsi sebagai pengatur para pedagang. Mereka memperjualbelikan stan yang ada
di badan jalan. Mereka juga menarik setoran harian kepada sektor informal yang
berjualan. Bagi sektor informal keberadaan preman di satu sisi merugikan karena
memeras, tetapi di sisi lain dibutuhkan ketika mencari tempat jualan, mencari
rasa aman, dan mencari informasi akan ada tidaknya penertiban. Bagong
(2003:vii) mengistilahkan preman-preman tersebut sebagai patron yang dapat
diandalkan untuk memberikan perlindungan, tetapi sekaligus juga sebagai pihak
yang seringkali mengeksploitasi ketidakberdayaan sektor informal kota.
Upaya
Pemkot untuk menata sektor informal selalu mengundang reaksi dari para sektor
informal yang akan ditertibkan, bahkan jauh sebelum pelaksanaan penertiban
dilakukan. Bagi para sektor informal, berbagai operasi penrtiban, penggusuran,
dan penggarukan sesungguhnya bukan merupakan hal yang sama sekali baru. Oleh
karena itu, alih-alih mentaati, mereka cenderung mencoba menyiasati situasi dan
seolah mengajak petugas untuk beradu stamina.
Beberapa
sektor informal melalukan "perang psikologis" melawan Pemkot, khususnya kepada
aparat Pemkot di lapangan. Pola resistensi semacam ini dilakukan sektor
informal pada saat sosialisasi rencana penertiban oleh Pemkot. Di satu sisi,
Pemkot menunjukkan kesungguhannya untuk menggelar operasi, pada sisi yang lain
sektor informal ngotot akan tetap bertahan. Selain bentuk-bentuk tersebut,
berbagai bentuk resistensi lain yang sering dilakukan sektor informal antara
lain; (1) melawan petugas lapangan, (2) berpindah lokasi jualan yang tidak jauh
dari lokasi semula, (3) seolah olah menurut dengan cara tidak mangkal untuk
satu atau dua hari, kemudian mereka mangkal lagi, (4) main kucing-kucingan
dengan aparat Pemkot dengan membuka kembali usahanya di sore hari pada saat
operasi penertiban mulai kendur, (5) meninggalkan tempat jualan dan tidak
mencopot tenda setelah selesai berjualan (Tanipu, 2008; Alisjahbana, 2005).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar