Gorontalo Holiday
Proses yang rumit membuat pengrajin yang
bertugas sebagai pemotong serat kain Karawo saat ini semakin sulit
ditemukan. Hanya orang yang berpengalamana saja yang berani melakukan,
apalagi dilakukan pada selembar kain yang mahal seperti sutera.
Kerajinan sulam ini hanya dilakukan oleh
kaum wanita di sela kesibukannya mengurus rumah tangga dan hanya
dilakukan pada siang hari, karena membutuhkan pencahayaan yang terang,
apalagi jika kain yang akan disulam berwarna gelap.
Sulam Karawo diyakini sudah ada sejak
abad 17, awalnya dilakukan oleh perempuan di daerah Ayula, yang saat itu
berada di bawah pengaruh kerajaan Bulango, sekarang berada di provinsi
Gorontalo. Para perempuan menjelang masa dewasanya diberika kesibukannya
untuk membuat sulam karawo, tradisi ini kemudian berlanjut untuk mereka
yang dipingit menjelang pernikahannya.
Hasil sulaman ini pun hanya untuk
keperluan pribadi sang pengrajin, selembar kain yang motif yang
sederhana, bisa bentuk-bentuk geometri dan dedaunan.
Dalam perkembangannya, sulaman ini
kemudian dimanfaatkan untuk menghiasi baju koko yang lazim dikenakan
kaum pria ke masjid atau acara keagamaan dan kematian. Karawo dengan
motif sederhana juga menghiasi taplak dan sapu tangan (lenso).
Bertahun-tahun karawo hidup tanpa
perkembangan yang berarti, motif yang sederhana, jenis kain yang
terbatas, dan penggunaan yang ala kadarnya. Sulam ini karawo tetap
bertahan karena masih memiliki fungsi sosial yang dibutuhkan masyarakat.
Fungsi-fungsi kemasyarakatan inilah yang kemudian diadopsi dan menyebar
ke daerah lain sekitar Ayula.
erja kerja yang berisi disain motif karawo. Dibutuhkan banyak disainer karawo untuk membuat motif yang dinamis dan disukai masyarakat. (Foto Ervina Julianty Arsyad)
erja kerja yang berisi disain motif karawo. Dibutuhkan banyak disainer karawo untuk membuat motif yang dinamis dan disukai masyarakat. (Foto Ervina Julianty Arsyad)
Menurut Yus Iryanto Abas, Ketua Jurusan
Teknik Kriya Fakultas Teknik Universitas Negeri Gorontalo, memasuki era
tahun 1980-an sulam Karawo ini sudah lazim dipakai masyarakat untuk
baju-baju yang dipakai ke masjid (koko) warna putih, juga saat
menghadiri upacara kematian (takziyah). Penggunaan baju sulam karawo ini
juga dilakukan kaum perempuan pada acara yang sama.
Dirasakan memiliki nilai ekonomi yang
tinggi, pada masa selanjutnya sulam karawo diperdagangkan dalam pasar
yang terbatas, masyarakat sekitar pengrajin. Lambat laun pedagang desa
ini menawarkan ke pasar yang lebih luas dengan motif meningkatkan omzet
penjualan.
Gorontalo yang masih menjadi bagian dari
Sulawesi Utara pada waktu itu tidak memiliki pasar yang baik di
wilayahnya. Para pedagang Gorontalo menjadikan kota Manado sebagai
tempat berdagang yang prospektif, hasil bumi seperti produk pertanian,
perikanan, perkebunan dibawa ke Manado. Lambat laun kerajinan juga
dibawa ke tanah Wenang ini.
Di Manado, sulam Karawo dipajang di
toko-toko besar di kawasan jalan BW Lapian, beserta kerajinan dan
makanan tradisional dari Minahasa. Kawasan ini memang dikenal sebagai
pusat oleh-oleh di Sulawesi Utara.
Dari toko-toko yang berderet ini karawo
muncul di masyarakat luas sebagai sulam yang khas. Para Kawanua (orang
Minahasa) dan juga masyarakat Gorontalo yang tinggal di Manado membawa
sulam ini ke dunia yang lebih luas.
Menjadi bagian dari Sulawesi Utara
membuat sulaman asli Gorontalo ini dikenal sebagai produk asal Manado.
Para pelancong dan penggemar sulaman mengerti jika untuk mendapatkan
sulam kerawang (saat itu dikenal sebagai kerawang) harus datang ke
Manado.
Dalam perdagangan karawo ini tidak ada
upaya untuk menjelaskan asal muasal, proses produksi dan sejarah sulam
ini. Padahal nilai jual sulaman ini juga sangat ditentukan oleh nilai
sosialnya juga. Nilai jual karawo tidak semata pada kandungan materi
yang melekat pada selembar kain. Dan ini berjalan bertahun-tahun tanpa
ada upaya untuk menghargai lebih baik lagi.
Busana sulam Karawo tidak lagi menjadi pakaian pinggiran, kini sulaman ini bisa tampil di gaun malam yang anggun dan mewah. (Foto Muazman Hamzah)
Busana sulam Karawo tidak lagi menjadi pakaian pinggiran, kini sulaman ini bisa tampil di gaun malam yang anggun dan mewah. (Foto Muazman Hamzah)
Saat Gorontalo berdiri sebagai provinsi
yang ke-32di Indonesia pada 22 Desember 2000 melalui Undang-Undang Nomor
38 Tahun 2000, nasib sulam karawo tidak berubah. Ribuan potong sulaman
karawo masih ditransaksikan di Manado, meskipun di kota Gorontalo
sendiri mulai tumbuh perdagangan karawo dengan manajemen yang lebih
baik.
Kesadaran pemerintah provinsi Gorontalo
untuk menghargai sulam Karawo sebagai karya asli daerah ini baru
tercetus tahun 2006, saat Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
mengeluarkan Hak Paten tentang Sulam Karawo sebagai kerajinan milik
masyarakat Gorontalo. Plakat hak paten ini disampaikan saat Sidang
Paripurna Istimewa DPRD Provinsi Gorontalo memperingati HUT Provinsi
Gorontalo, 16 Februari 2006.
Untuk membuat sulaman karawo memang
sulit. Dalam proses pembuatannya, setidaknya ada tiga pengrajin yang
terlibat. Yang pertama adalah mereka yang bertugas membuat motif atau
disain, tugas disainer ini membuat pola gambar.
Lalu pengrajin kedua bertugas mengiris
serat kain, pengrajin ini memiliki keterampilan dan kejelian yang luar
biasa, karena ia harus mampu memutus/mengiris serat kain yang panjangnya
tergantung pola, antara ujung serat kain yang satu dengan yang lain
harus sama dan menyisakan serat kain lainnya untuk disulam. Pengirisan
serat kain ini akan menghasilkan seperti kain strimin dengan pola
tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar