Senin, 03 Maret 2014


Gorontalo Holiday

Proses yang rumit membuat pengrajin yang bertugas sebagai pemotong serat kain Karawo saat ini semakin sulit ditemukan. Hanya orang yang berpengalamana saja yang berani melakukan, apalagi dilakukan pada selembar kain yang mahal seperti sutera.

Kerajinan sulam ini hanya dilakukan oleh kaum wanita di sela kesibukannya mengurus rumah tangga dan hanya dilakukan pada siang hari, karena membutuhkan pencahayaan yang terang, apalagi jika kain yang akan disulam berwarna gelap.




  Sulam Karawo diyakini sudah ada sejak abad 17, awalnya dilakukan oleh perempuan di daerah Ayula, yang saat itu berada di bawah pengaruh kerajaan Bulango, sekarang berada di provinsi Gorontalo. Para perempuan menjelang masa dewasanya diberika kesibukannya untuk membuat sulam karawo, tradisi ini kemudian berlanjut untuk mereka yang dipingit menjelang pernikahannya.
Hasil sulaman ini pun hanya untuk keperluan pribadi sang pengrajin, selembar kain yang motif yang sederhana, bisa bentuk-bentuk geometri dan dedaunan.
Dalam perkembangannya, sulaman ini kemudian dimanfaatkan untuk menghiasi baju koko yang lazim dikenakan kaum pria ke masjid atau acara keagamaan dan kematian. Karawo dengan motif sederhana juga menghiasi taplak dan sapu tangan (lenso).
Bertahun-tahun karawo hidup tanpa perkembangan yang berarti, motif yang sederhana, jenis kain yang terbatas, dan penggunaan yang ala kadarnya. Sulam ini karawo tetap bertahan karena masih memiliki fungsi sosial yang dibutuhkan masyarakat. Fungsi-fungsi kemasyarakatan inilah yang kemudian diadopsi dan menyebar ke daerah lain sekitar Ayula.



erja kerja yang berisi disain motif karawo. Dibutuhkan banyak disainer karawo untuk membuat motif yang dinamis dan disukai masyarakat. (Foto Ervina Julianty Arsyad)

Menurut Yus Iryanto Abas, Ketua Jurusan Teknik Kriya Fakultas Teknik Universitas Negeri Gorontalo, memasuki era tahun 1980-an sulam Karawo ini sudah lazim dipakai masyarakat untuk baju-baju yang dipakai ke masjid (koko) warna putih, juga saat menghadiri upacara kematian (takziyah). Penggunaan baju sulam karawo ini juga dilakukan kaum perempuan pada acara yang sama.
Dirasakan memiliki nilai ekonomi yang tinggi, pada masa selanjutnya sulam karawo diperdagangkan dalam pasar yang terbatas, masyarakat sekitar pengrajin. Lambat laun pedagang desa ini menawarkan ke pasar yang lebih luas dengan motif meningkatkan omzet penjualan.
Gorontalo yang masih menjadi bagian dari Sulawesi Utara pada waktu itu tidak memiliki pasar yang baik di wilayahnya. Para pedagang Gorontalo menjadikan kota Manado sebagai tempat berdagang yang prospektif, hasil bumi seperti produk pertanian, perikanan, perkebunan dibawa ke Manado. Lambat laun kerajinan juga dibawa ke tanah Wenang ini.


Di Manado, sulam Karawo dipajang di toko-toko besar di kawasan jalan BW Lapian, beserta kerajinan dan makanan tradisional dari Minahasa. Kawasan ini memang dikenal sebagai pusat oleh-oleh di Sulawesi Utara.
Dari toko-toko yang berderet ini karawo muncul di masyarakat luas sebagai sulam yang khas. Para Kawanua (orang Minahasa) dan juga masyarakat Gorontalo yang tinggal di Manado membawa sulam ini ke dunia yang lebih luas.
Menjadi bagian dari Sulawesi Utara membuat sulaman asli Gorontalo ini dikenal sebagai produk asal Manado. Para pelancong dan penggemar sulaman mengerti jika untuk mendapatkan sulam kerawang (saat itu dikenal sebagai kerawang) harus datang ke Manado.
Dalam perdagangan karawo ini tidak ada upaya untuk menjelaskan asal muasal, proses produksi  dan sejarah sulam ini. Padahal nilai jual sulaman ini juga sangat ditentukan oleh nilai sosialnya juga. Nilai jual karawo tidak semata pada kandungan materi yang melekat pada selembar kain. Dan ini berjalan bertahun-tahun tanpa ada upaya untuk menghargai lebih baik lagi.




Busana sulam Karawo tidak lagi menjadi pakaian pinggiran, kini sulaman ini bisa tampil di gaun malam yang anggun dan mewah. (Foto Muazman Hamzah)

Saat Gorontalo berdiri sebagai provinsi yang ke-32di Indonesia pada 22 Desember 2000 melalui Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2000, nasib sulam karawo tidak berubah. Ribuan potong sulaman karawo masih ditransaksikan di Manado, meskipun di kota Gorontalo sendiri mulai tumbuh perdagangan karawo dengan manajemen yang lebih baik.
Kesadaran pemerintah provinsi Gorontalo untuk menghargai sulam Karawo sebagai karya asli daerah ini baru tercetus tahun 2006, saat Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia mengeluarkan Hak Paten tentang Sulam Karawo sebagai kerajinan milik masyarakat Gorontalo. Plakat hak paten ini disampaikan saat Sidang Paripurna Istimewa DPRD Provinsi Gorontalo memperingati HUT Provinsi Gorontalo, 16 Februari 2006.
Untuk membuat sulaman karawo memang sulit. Dalam proses pembuatannya, setidaknya ada tiga pengrajin yang terlibat. Yang pertama adalah mereka yang bertugas membuat motif atau disain, tugas disainer ini membuat pola gambar.
Lalu pengrajin kedua bertugas mengiris serat kain, pengrajin ini memiliki keterampilan dan kejelian yang luar biasa, karena ia harus mampu memutus/mengiris serat kain yang panjangnya tergantung pola, antara ujung serat kain yang satu dengan yang lain harus sama dan menyisakan serat kain lainnya untuk disulam. Pengirisan serat kain ini akan menghasilkan seperti kain strimin dengan pola tertentu.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar